Kunci Penting Mendidik Anak Memiliki Akhlak Yang Mulia


ORANG tua di zaman sekarang cenderung permisif terhadap kehendak putra-putrinya. Konsep demokratis menjadikan orang tua memberikan keleluasaan pada anak secara berlebihan. Akibatnya, tidak jarang orang tua yang mesti melihat kebahagiaan saat anak-anaknya tumbuh dewasa, justru semakin merana karena ulah dan perilaku buah hatinya sendiri.

Dalam kasus ter-update, kita bisa belajar dari apa yang dialami oleh Arya Permana, bocah 10 tahun dengan bobot 190 kg. Apa yang menimpa Arya ini setidaknya memberikan bukti kepada para orang tua untuk bisa bersikap tegas terhadap hal-hal yang berdampak tidak baik terhadap buah hatinya. Setidaknya meminimalkan jenis makanan dan minuman yang tidak dibutuhkan oleh tubuh, sekalipun itu yang paling disukai anak.

Seorang dokter dalam sebuah sambungan telepon di sebuah stasiun televisi swasta mengatakan bahwa Tuhan melalui alam telah memberikan apa yang tubuh manusia butuhkan. Tetapi, kita sering tertipu dengan segenap upaya manusia yang ingin mendapatkan keuntungan dengan menciptakan makanan ini dan minuman itu yang dipromosikan bisa ini dan itu. Padahal, kebutuhan tubuh kita sudah tersedia dari alam.

Dengan kata lain, orang tua perlu memahami cara tepat mendidik anak dengan benar, sehingga lahir generasi tangguh. Bukan generasi penuntut yang kemudian menjadikan keadaan diluar kendali terjadi di masa depan mereka dan masa depan kita sebagai orang tua.


Berani Tegas

Orang tua kadang atau bahkan mungkin seringkali angkat tangan dengan kehendak anak. Akibatnya anak menjadi pribadi yang selalu mencamuk setiap kali keinginannya tidak dipenuhi oleh orang tuanya.

Sebagai contoh, anak yang ingin bermain petasan, kemudian dilarang, dan selanjutnya menangis bahkan meronta-ronta, sebaiknya tidak menjadikan ketegasan orang tua tumbang.

Sekali orang tua tumbang, dan memberikan apa yang dituntut anak sampai terkanjar-kanjar, maka anak itu akan memiliki perilaku yang sama, terutama sekali kala ada keinginan yang ditolak orang tua. Karena sang anak sudah mengambil kesimpulan dengan cara berperilaku menjadi-jadi, orang tuanya akan memberikan apa yang diinginkannya.

Dalam hal ini, memang tidak mudah. Dan, jika memang orang tua tidak mampu, meminta pihak lain, seperti meminta bantuan seorang guru yang terpercaya untuk bersikap tegas kepadanya bisa menjadi altiernatif untuk dipilih.

Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana Sultan Murad II memberikan amanah seutuhnya kepada Syeikh Aaq Syamsuddin sebagai guru untuk mendidik anaknya, Muhammad Al-Fatih yang membutuhkan ketegasan dalam pendidikan. Ketika bersikap tidak semestinya, Syeikh Aaq Syamsuddin langsung memukul Al-Fatih kecil. Rupanya, pukulan itu memberikan kesadaran penting dalam sejarah hidupnya, sehingga ia memiliki adab dan tumbuh menjadi pribadi yang cinta terhadap ilmu.

Artinya, ketegasan orang tua dan guru dalam mendidik buah hati kita sangat penting untuk membentuk ketangguhan anak. Namun, jangan sampai salah paham, karena ingin bersikap tegas, kita selaku orang tua malah memberikan tugas di luar kemampuan anak dengan selalu memukul. Sebab, pukulan itu tidak boleh berkali-kali, cukup sekali dan seminim mungkin dan itu sudah cukup membuat anak kita mengerti apa yang baik bagi mereka. Jadi, harus benar-benar proporsional.


Dalam konteks shalat misalnya, panduannya jelas langsung dari Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam. Jika anak umur 10 tahun dan tidak mau mendirikan shaolat, pukulan adalah penting sebagai sarana membentuk kepribadian disiplin shalat.

.”مرواأولادكمبالصلاةوهمأبناءسبعواضربوهمعليهاوهمأبناءعشر،وفرقوابينهمفيالمضاجع”

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila pada usia sepuluh tahun tidak mengerjakan shalat, serta pisahkanlah mereka di tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud).

Artinya ada batas, ada masa, ada situasi dimana orang tua memang benar-benar tidak perlu bersikap lembek kepada putra-putrinya, baik itu yang bersifat perintah apalagi dalam hal memenuhi keinginan anak.

Sebagaimana harapan dari sebuah cinta, akhir yang baik meski harus ditempuh dengan penuh perjuangan harus kita ajarkan kepada anak-anak kita.

Artinya, orang tua harus mampu bersikap baik sekaligus tegas demi kebaikan esok dan masa depan (akhirat) anak-anak kita. Tegas dengan memberikan teladan kedisiplinan, tegas dengan marah pada perilaku yang mengundang murka Allah Ta’ala. Tegas dengan tidak membiarkan anak mengambil yang bukan haknya.

Kenalkan yang Ma’ruf dan yang Munkar

Hal yang tidak kalah pentingnya dalam mendidik anak adalah memperkenalkan kepada mereka mana yang ma’ruf dan menguatkan komitmen terhadapnya dan mana yang munkar serta menjauhinya dengan sikap tanpa kompromi.

يَـٰبُنَىَّأَقِمِٱلصَّلَوٰةَوَأۡمُرۡبِٱلۡمَعۡرُوفِوَٱنۡهَعَنِٱلۡمُنكَرِوَٱصۡبِرۡعَلَىٰمَآأَصَابَكَ‌ۖإِنَّذَٲلِكَمِنۡعَزۡمِٱلۡأُمُورِ

“Wahai anandaku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman [31]: 17).

Dalam ayat tersebut setelah shalat, anak harus tahu mana yang ma’ruf dan munkar dan bersikap tepat terhadap keduanya. Amar ma’ruf, dorong anak-anak kita untuk mengajak temannya mengerjakan shalat, belajar yang rajin. Dan dorong pula mereka melarang teman-temannya bertindak tidak baik seperti mencuri, tidak serius dalam mengerjakan tugas dan lain sebagainya yang mengundang keburukan diri dan kemurkaan Allah.

Setelah itu, kenalkan anak, didik anak untuk sabar dengan apapun yang dialami dalam hidupnya dalam menjaga keimanannya.

أَحَسِبَٱلنَّاسُأَنيُتۡرَكُوٓاْأَنيَقُولُوٓاْءَامَنَّاوَهُمۡلَايُفۡتَنُونَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?. ” (QS. Al-Ankabut [29]: 2).

Sampaikan pemahaman kepada anak bahwa ujian akan menjadikan seseorang naik kelas, sebagaimana pelajar yang semakin tinggi kelasnya, semakin berat ujiannya. Pepatah bilang, semakin tinggi pohon, semakin kencang angin bertiup.

Sosok sempurna dalam hal ini ada pada diri seorang anak bernama Ismail Alahissalam. Dimana dalam setiap apa yang diperintahkan oleh Allah kepada dirinya, tidak ada respon muncul, melainkan selalu tunduk dan patuh.

قَالَيَـٰٓأَبَتِٱفۡعَلۡمَاتُؤۡمَرُ‌ۖسَتَجِدُنِىٓإِنشَآءَٱللَّهُمِنَٱلصَّـٰبِرِينَ

“Ia (Ismail) menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 102).


Demikianlah sikap anak yang sejak kecil telah mengenal yang ma’ruf dan munkar. Ia tidak pernah dalam kebimbangan dalam hidupnya. Jika ma’ruf dia kerjakan, jika munkar ia tinggalkan dan mencegah yang lain mengerjakannya.

Dalam konteks modern, puisi Muhammad Iqbal bisa kita kenalkan kepada anak-anak kita untuk mereka mengenal apa itu sabar, berani dan tangguh di dalam kebenaran.

“Bangkitlah, ciptakan dunia baru. Bungkus dirimu dalam api, dan jadilah seorang Ibrahim. Jangan mau tunduk kepada apa pun kecuali Kebenaran. Ia akan menjadikanmu seekor singa jantan.”

Jika hal ini kita tanamkan kepada putra-putri kita di rumah, insya Allah anak-anak kita akan lebih cepat dan antusias mengenal Rasulullah, sahabat dan ulama-ulama terdahulu, sehingga mereka tidak terombang-ambing oleh idola ciptaan dunia entertaint, sehingga mereka tumbuh menjadi pribadi yang mantab visi dan cita-cita keumatannya. Wallahu a’lam.