Sekelumit Kisah Hijrah Rasulullah Shollahu Alaihi Wasallam

Ilustrasi Gurun Pasir
Hijrah Nabi Muhammad Shollahu Alaihi Wasallam dari Mekkah ke Madinah menjadi peristiwa besar bagi umat Islam. Kisah itu punya makna mendalam bagi muslimin dunia. Peristiwa itu kemudian menjadi awal tahun kalender Islam dan diperingati hingga sekarang.
Sebelum hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad telah berdakwah menyebarkan Islam di Mekah. Semula, Nabi berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Syiar Islam kemudian dilakukan dengan terang-terangan.
Kaum kafir Quraisy yang sejak semula memusuhi Nabi semakin gencar melakukan desakan. Intimidasi terjadi setiap waktu. Namun, saat Nabi perlu dukungan, datanglah masa sulit. Sang istri, Siti Khadijah, wafat. Padahal Siti Khadijah menjadi salah satu motivator bagi Nabi dalam menyebarkan Islam.
Setelah Khadijah, pamah Nabi, Abu Thalib, juga meninggal dunia. Semasa hidup, Abu Thalib lah yang menjadi pembela Nabi dari kebengisan kafir Quraisy. Dengan wafatnya Abu Thalib, kaum kafir Quraisy semakin semena-mena. Wafatnya Siti Khadijah dan Abu Thalib membuat Nabi berada dalam suasana duka.
Pada masa-masa yang disebut sebagai tahun duka cita itu, terjadilah peristiwa luar biasa, yaitu Isra’ Mi’raj pada 27 Rajab, sekitar rahun 621 Masehi. Pada peristiwa itu, turunlah perintah salat lima waktu.
Setelah peristiwa itu, Nabi kembali melanjutkan dakwahnya di Mekah. Pengalaman luar biasa itu diceritakan pada pengikutnya. Namun, kabar itu membuat kaum kafir Quraisy semakin menekan. Mereka menuduh Nabi berbohong.
Pada 621 M itu pula, datanglah sejumlah orang dari Madinah, menemui Nabi di Bukit Aqaba. Mereka memeluk agama Islam. Peristiwa tersebut dikenal dengan Bai’at Aqaba I.
Tahun berikutnya, atau 622 M, datanglah 73 orang dari Madinah ke Mekah. Mereka merupakan Suku Aus dan Khazraj yang semula ingin berhaji. Mereka kemudian menemui Nabi dan mengajak berhijrah ke Madinah. Mereka menyatakan siap membela dan melindungi Nabi dan para pengikutnya dari Mekah. Peristiwa ini dikenal dengan Bai’at Aqabah II.
Kondisi kaum muslim di Mekah juga semakin terdesak setelah kaum kafir Quraisy melakukan boikot kepada Nabi Muhammad dan para pengikutnya yang berasal dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Kaum Quraisy melarang setiap perdagangan dan bisnis dengan pengikut Nabi.
Selain itu, semua orang dilarang menikah dengan kaum muslimin. Tak ada yang diperkenankan bergaul dengan pengikut Nabi Muhammad. Mereka juga mendukung kelompok-kelompok yang memusuhi Nabi Muhammad. Boikot inilah yang membuat kaum muslimin semakin terdesak.
Dalam upaya menyelamatkan dakwah Islam dari gangguan kafir Quraisy, Nabi Muhammad atas perintah ALLAH Subhanahu Waa Ta'ala memutuskan hijrah dari Mekah ke Madinah. Namun sebelumnya, Nabi telah memerintahkan kaum mukminin agar hijrah terlebih dahulu ke Madinah. Para sahabat pun segera berangkat secara diam-diam agar tidak dihadang oleh kelompok kafir Quraisy.
Menjelang Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, kaum kafir Quraisy membuat rencana jahat. Mereka ingin membunuh Nabi.
Pada malam hari, para pemuda Quraisy telah mengepung rumah Nabi. Pada saat itulah Nabi meminta Ali bin Abi Thalib memakai jubahnya. Ali diminta berbaring di tempat tidur Nabi untuk mengelabui para pemuda Quraisy.
Para pemuda yang sudah disiapkan Quraisy kemudian mengintip ke kamar Nabi. Mereka melihat ada sosok yang sedang berbaring dan mengira itu adalah Nabi Muhammad, padahal yang berbaring itu adalah Ali bin Abi Thalib.
Jelang larut malam, Rasulullah keluar rumah menuju kediaman Abu Bakar Ashshiddiq. Nabi kemudian berangkat ke Gua Tsur.
Para pemuda Quraisy yang mengepung rumah Nabi masuk ke dalam rumah. Namun mereka alangkah terkejut, ternyata Nabi sudah tidak ada. Sosok yang terbaring di tempat tidur itu ternyata Ali bin Abi Talib.

Keajaiban Gua Tsur

Sementara, Nabi terus berjalan. Untuk mengelabui kaum Quraisy yang telah menutup semua jalur ke Madinah, Nabi menempuh jalan yang tak biasa digunakan penduduk.
Tibalah Nabi di Gua Tsur. Nabi bersama Abu Bakar tinggal di sana selama kurang lebih tiga hari.
Gua Tsur sungguh sempit. Jarang disinggahi manusia. Sementara, kaum Quraisy mondar-mandir ke segala penjuru mencari Nabi dan Abu Bakar.
Kelompok Quraisy sebenarnya sudah tiba di Gua Tsur. Pimpinan mereka bahkan hendak masuk ke gua yang dijadikan tempat persembunyian Nabi dan Abu Bakar itu. Namun tak jadi.
Mereka melihat banyak sarang laba-laba di mulut gua. Selain itu, banyak pula burung liar di sana. Sehingga mereka mengira tak mungkin ada orang di dalam gua tersebut.
Setelah tiga malam berada di gua, pada tanggal 1 Rabi’ul Awwal tahun pertama Hijriyah, atau pada tanggal 16 September 622 M, Nabi, Abu Bakar, ditemani Amir bin Fuhairah, beserta seorang penunjuk jalan, Abdullah bin Uraiqith, keluar dari gua. Mereka berangkat menuju Madinah.
Nabi duduk di atas unta, yang dalam kitab tarikh disebut dengan nama “Al-Qushwa”. Selama tujuh hari tujuh malam mereka berjalan menuju Madinah, melewati gurun pasir yang gersang.

Pada tanggal 8 Rabiul Awwal, rombongan Nabi tiba di Quba. Mereka disambut dengan hangat oleh kaum muslimin di sana.
Setelah dari Quba, atau sekitar satu kilo­meter dari Quba, Nabi bersama umat Islam lainnya melaksanakan salat Jumat di tempat Bani Salim bin Auf. Untuk mem­peringati peristiwa itu, dibangunlah “Masjid Jumat” di lokasi ini.
Nabi melanjutkan perjalanan pada hari itu juga. Rombongan itu akhirnya tiba di Madinah pada hari Jumat, 12 Rabi’ul Awwal itu juga atau tahun 13 Kenabian. Sambutan penuh suka cita diiringi isak tangis penuh haru dan kerinduan menyeruak di Madinah.
Syair pun berkumandang:
Thola‘al badru ‘alayna
Min Tsaniyyatil Wada’
Wajabasy syukru ‘alayna
Ma da‘a lillahi da‘
Ayyuhal mab‘utsu fina
Ji’ta bil amril mutha’
Artinya:
Telah nampak bulan purnama
Dari Tsaniyyah Al-Wada’
Wajiblah kami bersyukur
Atas masih adanya penyeru kepada Allah
Wahai orang yang diutus kepada kami
Engkau membawa sesuatu yang patut kami taati
(Dari berbagai sumber)

Wallahu A’lam Bis Showab.

TIM LPI AU_AUB

Download Sekarang Juga Aplikasi : MyKAHA


       Alhamdulillah Telah Hadir Di Genggaman Kita Aplikasi Android & IOS MyKAHA, Bisa Langsung Download Di Google Play / App Store Smartphone Anda.
       Aplikasi Dengan Segudang Manfaat Untuk Kita Semua, Baik Pemesaan Tiket Kereta Api, Pesawat, Hotel, Pulsa, Token PLN, Dsb, Yang Pasti Harga Murah dan Segalanya Mudah.
       Yuuk Download Sekarang Juga Aplikasi MyKAHA, Aplikasi dari Ummat Untuk Ummat.

Download Disini : https://play.google.com/store/apps/details?id=com.mykaha.apps&rdid=com.mykaha.apps

 

     

Malaikat Yang Menjaga Pintu Masjid Saat Sholat Jumat

    


    Satu dari enam rukun iman yang wajib kita ketahui adalah beriman kepada malaikat Allah. Malaikat ini merupakan makhluk Allah yang diciptakan dari cahaya dan sangat patuh terhadap perintah-Nya.

    Berbeda dengan manusia, malaikat tidak dianugerahi nafsu yang menjadi pembeda antara mereka dengan kita manusia.

    Di dalam ajaran Islam, terdapat sepuluh nama malaikat yang wajib diketahui lengkap dengan tugas-tugasnya. Dari sepuluh nama itu ada nama-nama malaikat yang sepaket seperti Rakib dan Atid yang bertugas untuk mencatat amal baik dan amal buruk dari setiap manusia.

    Tetapi khusus di hari Jumat dalam beberapa riwayat dikatakan ada malaikat yang menjaga pintu masjid untuk mencatat kehadiran jemaah salat Jumat. Siapakah mereka?

    Dari Abu Hurairah ra Rasulullah saw bersabda, "Jika hari Jumat telah tiba, maka akan ada para malaikat di setiap pintu-pintu masjid. Mereka akan mencatat setiap orang yang hadir dari yang pertama, lalu berikutnya dan seterusnya. Hingga ketika imam telah naik mimbar para malaikat itu menutup catatan mereka, lalu para malaikat itu ikut mendengarkan khotbah." (HR. Bukhari 3211)

    Hadist di atas menjadi landasan bahwa semakin awal seseorang datang saat salat Jumat, maka akan lebih utama. Berbeda halnya dengan mereka yang suka telat datang, maka namanya tidak akan masuk dalam catatan malaikat Allah karena mereka sudah menutupnya.

    Adapun keutamaan seseorang yang datang ke masjid saat salat Jumat tergantung pada urutan ke berapa ia datang.

    Dalam sebuah hadis dikatakan, "Barang siapa yang berangkat salat Jumat pada jam pertama, seakan-akan ia berkurban dengan seekor unta. Siapa yang berangkat pada jam kedua, maka seakan-akan berkurban dengan seekor sapi. Siapa saja yang berangkat pada jam ketiga, seakan-akan dirinya berkurban dengan kambing bertanduk. Siapa saja yang berangkat pada jam keempat, seakan-akan menghadiahkan seekor ayam jantan. Siapa saja yang berangkat pada jam kelima, maka seakan-akan menghadiahkan sebutir telur.
Namun setelah imam keluar, maka catatan amal itu ditutup oleh malaikat, kalam catatannya sudah diangkat, dan para malaikat berkumpul di mimbar untuk mendengarkan Dzikir (Khotbah). Siapa saja yang datang setelah itu, maka ia datang hanya untuk memenuhi hak salat dan tidak mendapatkan keutamaan apapun." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

    Terkait dengan riwayat tentang malaikat di atas, dalam kitab Fathul Bari, Syeikh Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa malaikat penjaga pintu masjid itu berbeda dengan Rakib dan Atid. Karena untuk Rakib dan Atid memang sudah ada pada setiap manusia bukan hanya saat salat Jumat saja.

    Beliau berkata, "Adapun malaikat yang menutup catatannya saat khatib naik mimbar adalah catatan yang berkaitan dengan keistimewaan untuk bersegera menuju salat Jumat bukan catatan amal lainnya. Sementara amal mendengarkan khotbah, melaksanakan salat Jumat, zikir, berdoa, khusyuk saat beribadah atau sejenisnya, semuanya akan dicatat oleh dua malaikat pencatat amal (Rakib dan Atid)."

    Dengan demikian, alangkah baiknya seseorang tidak menunda-nunda keberangkatannya untuk salat Jumat sebelum khatib naik mimbar karena ada malaikat khusus yang mencatat amal baik kita. Wallahu a'lam.

Baca Juga

Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram 1440H


       Sebelum membahas lebih jauh terkait dengan doa akhir tahun, alangkah baiknya kita mengetahui sejarah penetapaan awal tahun dan akhir tahun hijraiyah. Menurut keterangan para ahli sejarah, penetapan penanggalan 1 Muharram ini sebagai kalender resmi dalam Islam.
       Kalender ini muncul sejak jaman Umar bin khatab radhiyallahuanhu. Dan hal ini juga ditandai dengan adanya surat menyurat yang sudah dilakukan oleh para keum muslimin pada saat itu.
       Sehingga dengan itu, penetapan bulan hijriyah masih belum dikenal pada jaman Abu Bakar as-Shiddiq dan zaman Nabi Muhammad Shollahu Alaihi Wasallam. Oleh karena itu, pada masa beliau belum ada yang mengenal istilah awal tahun dan akhir tahun.
       Mungkin dengan memahami kedaaan diatas, kita dapat menyimpulkan kalau Nabi Muhammad Shollahu Alaihi Wasallam tidak pernah secara langsung memberikan ajaran mengenai doa akhir tahun dan awal tahun dalam penanggalan ini, akan tetapi beliau mengajarkan kepada para sahabatnya untuk berdoa berjama'ah karena doa berjama'ah atau perkumpulan berjama'ah dengan niat mengingat ALLAH Subhanahu Waa Ta'ala sangat dicintai oleh Beliau.
       Sehingga, doa akhir tahun tahun ini telah dikerjakan oleh sejumlah As-Salafu Sholeh (orang-orang sholeh sesudah Nabi Muhammad SAW). Berikut bacaan doa awal tahun dan doa akhir tahun:

Doa Akhir Tahun
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِـيمْ
وَصَلىَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ .
اَللَّهُمَّ مَا عَمِلْتُ فِي هَذِهِ السَّنَةِ مِمَّا نَهَيْتَنِيْ عَنْهُ فَلَمْ اَتُبْ مِنْهُ وَلَمْ تَرْضَهُ وَلَمْ تَنْسَهُ وَحَلُمْتَ عَلَيَّ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِيْ ، وَدَعَوْتَنِيْ اِلَى التَّوْبَـةِ مِنْهُ بَعْدَ جُرْأَتِي عَلَى مَعْصِيَتِكَ فَاِنِّيْ اَسْتَغْفِرُكَ فَاغْفِرْلِيْ .
وَمَا عَمِلْتُ فِيْهَا مِمَّا تَرْضَاهُ وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهِ الثَّوَابَ فَاَسْئَلُكَ اَللَّهُمَّ يَا كَرِيْمُ يَاذَا الْجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ اَنْ تَتَقَبَّلَهُ مِنِّيْ وَلاَتَقْطَعْ رَجَائِيْ مِنْكَ يَاكَرِيْمُ .
وَصَلىَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَّعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ .

BISMILLAAHIRRAMAANIRRAHIIM
WASHALLALLAAHU ‘ALAA SAYYIDINAA WA MAULAANAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WA SHAHBIHII WASALLAM.
ALLAAHUMMA MAA ‘AMILTU FII HAADZIHIS SANATI MIMMAA NAHAITANII ‘ANHU FALAM ATUB MINHU WALAM TARDHAHU WALAM TANSAHU WA HALUMTA ‘ALAYYA BA’DA QUDRATIKA ‘ALAA ‘UQUUBATII WADA’AUTANII ILAT TAUBATI MNHU BA’DA JUR-ATII ‘ALAA MA’SHIYATIKA FA INNII ASTAGHFIRUKA FAGHFIR LII.
WA MAA ‘AMILTU FIIHAA MIMMAA TARDHAAHU WA WA’ADTANII ‘ALAIHITS TSAWAABA FA AS-ALUKALLAAHUMMA YAA KARIMU YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAM AN TATAQABBALAHUU MINNII WA LAA TAQTHA’ RAJAA-II MINKA YAA KARIIM.
WASHALLALLAAHU ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WA SHAHBIHII WASALLAM.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang
       Semoga rahmat Allah tercurah kepada junjungan kami dan pemimpin kami Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa aalihii wasallam keluarganya, dan para sahabat beliau.
       Ya Allah… segala amal yang aku lakukan pada tahun ini (yang telah silam), dari hal-hal yang Engkau larang kepadaku, lalu aku tidak bertaubat, sedangkan Engkau tidak meridhoinya, dan Engkau tidak melupakannya, dan menyantuni atasku sesudah kekuasaan-Mu atas siksa-siksa padaku.
       Engkau menyeru aku bertaubat darinya sesudah aku lakukan durhaka pada-Mu. Perkenankanlah Engkau mengampuni aku. Dan segala apa yang aku lakukan di dalamnya dari hal-hal yang Engkau ridhoi, dan Engkau telah menjanjikan pahala kepadaku, maka aku memohon kepada-Mu ya Allah Dzat yang Mulia, hai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan, hendaklah Engkau terima dariku, janganlah Engkau memutuskan harapanku dari rahmat-Mu hai Dzat Yang Mulia.
       Shalawat dan salam, tetapkanlah pada junjungan kami Nabi Muhammad, keluarga, dan shahabat beliau.

( Di Kutip Dari Kitab Kanzunnajaah Wassuruur halaman 298, karya Syeikh ‘Abdul Hamid ibn Muhammad ‘Ali Quds ) .
Doa Awal Tahun    
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِـيمْ
 .وَصَلىَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ 
 اَللَّهُمَّ أَنْتَ اْلأَبَدِيُّ القَدِيْمُ اْلأَوَّلُ وَعَلَى فَضْلِكَ اْلعَظِيْمِ وَجُوْدِكَ اْلُمعَوَّلِ وَهَذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ أَقْبَلْ .
 أَسْأَلُكَ اْلعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَائِهِ وَجُنُوْدِهِ ، وَالْعَوْنَ عَلَى هَذَا النَّفْسِ الأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ وَالاِشْتِغَالِ بِمَا يُقَرِّبُنِي إِلَيْكَ زُلْفَى ، يَاذَا اْلجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ .
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ .

BISMILLAAHIRRAMAANIRRAHIIM
WASHALLALLAAHU ‘ALAA SAYYIDINAA WA MAULAANAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WA SHAHBIHII WASALLAM.
ALLAAHUMMA ANTAL ABADIYYU ALQADIIMU AL AWWALU WA ‘ALAA FADHLIKAL ’AZHIIMI WA JUUDIKAL MU’AWWALI WA HAADZAA ‘AAMUN JADIIDUN QAD AQBALA, NAS`ALUKAL ’ISHMATA FIIHI MINASY SYAITHAANI WA AULIYAA-IHII WA JUNUUDIHII.
WAL ‘AUNA ‘ALAA HAADZANNAFSIL AMMAARATI BISSUU`I WAL ISYTIGHAALA BIMAA YUQARRIBUNII ILAIKA ZULFAA YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAMI YAA ARHAMAR RAAHIMIIN.
WASHALLALLAAHU ‘ALAA SAYYIDINAA WA MAULAANAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WA ASHHAABIHII WASALLAM.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang
       Semoga rahmat Allah tercurah kepada junjungan kami dan pemimpin kami Nabi Muhammad-shallallaahu ‘alaihi wa aalihii wasallam, keluarganya, dan para sahabat beliau.
       Wahai Allah… Engkaulah Dzat yang abadi, yang terdahulu,yang mula-mula. Atas AnugerahMu yang besar dan kemurahanMu yang dijadikan pegangan, inilah tahun baru telah datang. Kami mohon kepadaMu pemeliharaan selama tahun ini dari setan, sahabat2, dan pasukannya. Dan pertolonganmu untuk melawan nafsuku ini yang selalu mengajak kepada kejahatan, serta sibukkanlah (aku) dalam melakukan amal yang dapat mendekatkan diriku kepadaMu sedekat-dekatnya, Wahai Dzat yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.
       Shalawat dan salam, tetapkanlah pada junjungan kami Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau.

( Di Kutip Dari Kitab Kanzunnajaah Wassuruur halaman 68, karya Syeikh ‘Abdul Hamid ibn Muhammad ‘Ali Quds ) .


SURABAYA,  1  MUHARRAM  1440H
                     10 SEPTEMBER 2018M

                                                 Tim Penyusun LPI AU-AUB

Dalil Sholat Jamak dan Qashr


S : Berapa jarak yang disebut safar sehingga boleh mengqashar shalat?
J : Para ulama berselisih pendapat mengenai batasan jarak sehingga disebut safar sehingga boleh mengqashar shalat. Ada tiga pendapat dalam hal ini:

a- Jarak disebut safar jika telah mencapai 48 mil atau 85 km.

Inilah pendapat dari mayoritas ulama dari kalangan Syafi’i, Hambali dan Maliki. Dalil mereka adalah hadits,
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا
“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari )
Sanggahan: Hadits di atas bukan menunjukkan batasan jarak disebut bersafar sehingga boleh mengqashar shalat.

b- Disebut safar jika telah melakukan perjalanan dengan berjalan selama tiga hari tiga malam.

Inilah pendapat ulama Hanafiyah. Dalil mereka adalah hadits dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ
Janganlah seseorang itu bersafar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari no. 1086 dan Muslim no. 1338).
Begitu pula berdalil dengan hadits ‘Ali, ia berkata,
جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” (HR. Muslim no. 276)
Sanggahan: Dua hadits di atas juga tidak menunjukkan batasan jarak safar.

c- Tidak ada batasan untuk jarak safar, selama sudah disebut safar, maka sudah boleh mengqashar shalat.

عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ الْهُنَائِىِّ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ الصَّلاَةِ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلاَثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلاَثَةِ فَرَاسِخَ – شُعْبَةُ الشَّاكُّ – صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
“Dari Yahya bin Yazid Al Huna-i, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Anas bin Malik mengenai qashar shalat. Anas menyebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh –Syu’bah ragu akan penyebutan hal ini-, lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at (qashar shalat).” (HR. Muslim no. 691).
Ibnu Hajar Al Asqolani menyatakan,
وَهُوَ أَصَحّ حَدِيث وَرَدَ فِي بَيَان ذَلِكَ وَأَصْرَحه
“Itulah hadits yang paling shahih yang menerangkan masalah jarak safar untuk bisa mengqashar shalat. Itulah hadits yang paling tegas.” (Fathul Bari, 2: 567)
Jumhur ulama (mayoritas ulama) yang menyelisihi pendapat di atas, mereka menyanggah bahwa jarak yang dimaksud dalam hadits adalah jarak saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai qashar, bukan jarak tujuan yang ingin dicapai.
Dalil lain yang mendukung pendapat ketiga ini adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ صَلَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا ، وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di Madinah empat raka’at, dan di Dzul Hulaifah (saat ini disebut dengan: Bir Ali) shalat sebanyak dua raka’at.” (HR. Bukhari no. 1089 dan Muslim no. 690). Padahal jarak antara Madinah dan Bir Ali hanya sekitar tiga mil.
Untuk menentukan batasan disebut safar amatlah sulit karena bumi sendiri sulit untuk diukur dengan ukuran jarak tertentu dalam mayoritas safar. Pergerakan musafir pun berbeda-beda. Hendaklah kita tetap membawa makna mutlak sebagaimana disebutkan oleh syari’at. Begitu pula jika syari’at mengaitkan dengan sesuatu, kita juga harus menetapkan demikian pula.
Initnya, setiap musafir boleh mengqashar shalat di setiap keadaan yang disebut safar. Begitu pula tetap berlaku berbagai hukum safar seperti mengqashar shalat, shalat di atas kendaraan dan mengusap khuf.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 12-13).

Kesimpulan:

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat ketiga. Selama suatu perjalanan disebut safar baik menempuh jarak dekat maupun jauh, maka boleh mengqashar shalat. Kalau mau disebut safar, maka ia akan berkata, “saya akan safar”, bukan sekedar berkata, “saya akan pergi”. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 481).

Wallahu A’lam Bis Showab.

TIM LPI AU_AUB

Pengertian Serta Syarat Sholat Jamak dan Qashr


A. Pengertian
- Sholat qoshor adalah meringkas shalat dari 4 (empat) raka’at menjadi 2 (dua) raka’at.
- Sholat jama’ adalah mengerjakan 2 (dua) sholat fardlu dalam satu waktu. Jika dikerjakan pada waktu yang pertama disebut jama’ Taqdim dan jika dikerjakan pada watu sholat yang kedua disebut jama’ ta’khir.

B. Syarat sholat qashar ada 7 (Tujuh) :
1. Bepergian yang bukan karena tujuan maksiat.
2. Jarak perjalanan mencapai 16 (enam belas) farsakh (ada ulama’ yang mengatakan 88 Km, 80 Km, 64 Km, 94,5 Km, dan lain-lain).
3. Sholat yang dilakukan adalah sholat ada’ (sholat yang dilakukan pada waktunya) ataupun sholat qodlo’ (sholat yang dilakukan di luar waktunya) yang terjadi dalam perjalanan, bukan sholat yang ditingalkan di rumah.
4. Niat qoshor (meringkas sholat) dilakukan ketika takbirotul ikhrom
5. Tidak bermakmum kepada orang yang sholat sempurna (4 roka’at).
6. Dilakukan masih dalam perjalanan.
7. Bepergian dengan tujuan yang jelas.

C. Syarat jama’ taqdim ada 5 (Lima) :
1. Mendahulukan sholat yang pertama (dhuhur atau maghrib).
2. Berniat jama’ taqdim pada sholat yang pertama (dhuhur atau maghrib).
3. Muwalah/ terus menerus (antara sholat yang pertama dan kedua tidak terpisah oleh waktu yang lama kadar 2 (dua) roka’at).
4. Dilakukan ketika masih dalam perjalanan.
5. Kedua sholat yakin dilakukan pada waktu sholat yang pertama.

D. Syarat jama’ ta’khir :
Berniat jama’ ta’khir ketika masuknya waktu sholat yang pertama (Dhuhur dan Maghrib). 

Catatan :
- Diperbolehkan untuk menggabungkan antara jama’ dan qoshor sholat.
- Tidak disyaratkan tartib dan niat pada waktu sholat yang awal.

SYARAT KEBOLEHAN JAMAK-QASHAR :
1. Seseorang boleh menjamak-qashar shalatnya setelah melewati batas desanya.
2. Jika seseorang mengadakan perjalanan, lalu dalam perjalanannnya ia melewati daerahnya lagi, maka ia tidak boleh menjamak-qashar, sampai ia keluar lagi dari batas desanya.

TUJUAN PERJALANAN :
Jika seseorang mengadakan perjalanan semata-mata bertujuan tamasya / rekreasi, maka ia tidak boleh menjamak-qashar.

STATUS MUSAFIR :
Seseorang dihukumi lepas dari status musafir (sehingga tidak boleh jamak-qashar) dengan salah satu dari 3 sebab:
1). Sampai kembali ke batas desanya.
2). Tiba di tempat tujuan yang berniat tinggal di situ selama 4 hari 4 malam atau lebih selain hari datang-pulang.
3). Berniat mukim/menetap di satu tempat secara mutlak (tanpa di batasi waktu).

Wallahu a'lam Bis Showab...
TIM LPI AU_AUB