Bagaimana Cara Cinta Kepada Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam


Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam [1], memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas dan penjabar dari al-Qur’an yang mulia, yang merupakan sumber utama syariat Islam. Oleh karena itu, tanpa memahami sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, seseorang tidak mungkin dapat menjalankan agama Islam dengan benar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), supaya mereka memikirkan.” (Qs. an-Nahl: 44).

Ketika Ummul mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ditanya tentang akhlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh, akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an.”[2] Ini berarti, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya.[3] Maka, orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dialah yang paling sempurna dalam berpegang teguh dan mengamalkan al-Qur’an dan agama Islam secara keseluruhan.
Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata, “(Termasuk) landasan (utama) sunnah (syariat Islam) menurut (pandangan) kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah bahwa sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penafsir dan argumentasi (yang menjelaskan makna) al-Qur’an.”[4]
Oleh karena itulah, para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendefinisikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang mencakup syariat Islam secara keseluruhan, baik ucapan, perbuatan maupun keyakinan.[5]
Imam Abu Muhammad al-Barbahari[6] berkata, “Ketahuilah, bahwa Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu dialah Islam, yang masing-masing dari keduanya tidak akan tegak tanpa ada yang lainnya.”[7]

Arti mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran: 31).
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya.”[8]
Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi berkata, “Ketahuilah, bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit.”[9]
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan meneladani petunjuk dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berusaha mempelajari dan mengamalkannya dengan baik. Dan bukanlah mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah[10] dengan mengatasnamakan cinta kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau memuji dan mensifati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan, dengan menempatkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kedudukan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tempatkan beliau padanya.[11]
Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang nasrani melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.[12]
Inilah makna cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dan diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, para sahabat radhiallahu ‘anhum. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada seorangpun yang paling dicintai oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi jika mereka melihat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak berdiri (untuk menghormati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci perbuatan tersebut.”[13]

Bagaimana menyempurnakan cinta kepada sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam diri kita?

Imam Ibnu Rajab al-Hambali membagi derajat (tingakatan) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi dua tingakatan, yang berarti dengan menyempurnakan dua tingkatan ini seorang akan memiliki kecintaan yang sempurna kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ini merupakan tanda kesempurnaan iman dalam dirinya.
Dua tingkatan tersebut adalah:
1- Tingkatan yang fardhu (wajib), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandung konsekuensi menerima dan mengambil semua petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allah dengan (penuh rasa) cinta, ridha, hormat dan patuh, serta tidak mencari petunjuk dari selain jalan (sunnah) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh. Kemudian, mengikuti dengan baik agama yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan dari Allah, dengan membenarkan semua berita yang beliau sampaikan, manaati semua kewajiban yang beliau perintahkan, maninggalkan semua perbuatan haram yang dilarangnya, serta menolong dan berjihad (membela) agamanya, sesuai dengan kemampuan unutk (mengahadapi) orang-orang yang menentangnya. Tingkatan ini harus dipenuhi (oleh setiap muslim) dan tanpanya keimanan (seseorang) tidak akan sempurna.
2- Tingkatan fadhl(keutamaan/kemuliaan), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandung konsekuensi meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, mengikuti sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar, dalam tingkah laku, adab (etika), ibadah-ibadah sunnah (anjuran), makan, minum, pakaian, pergaulan yang baik dengan keluarga, serta semua adab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna dan akhlak beliau yang suci. Demikian juga memberikan perhatian (besar) untuk memahami sejarah dan perjalanan hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, rasa senang dalam hati dengan mencintai, mengagungkan dan memuliakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, senang mendengarkan ucapan (hadits) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan selalu (mendahulukan) ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ucapan selain beliau. Dan termasuk yang paling utama dalam tingkatan ini adalah meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sikap zuhud beliau terhadap dunia, mencukupkan diri dengan hidup seadanya (sederhana) di dunia, dan kecintaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada (balasan yang sempurna) di akhirat (kelak).”[14]


Keutamaan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Qs. al-Ahzaab: 21).
Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik“, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla.[15]
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[16]
Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata, “Teladan yang baik (pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[17]

Penutup

Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita makna mencintai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya, dan jelaslah besarnya keutamaan dan kemuliaan mengikuti sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka mestinya, seorang muslim yang mengaku mencintai Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adalah orang yang paling semangat dalam mempelajari dan menerapkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap dan tingkah lakunya. Khususnya, di zaman sekarang ketika sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi asing dan jarang diamalkan di tengah-tengah kaum muslimin sendiri. Karena, seorang muslim yang mengamalkan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dilupakan, dia akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.


Sebagai penutup, marilah kita camkan bersama nasihat Imam al-Khatiib al-Baghdadi[18] berikut ini, “Seyogyanya para penuntut ilmu hadits (pengikut manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah), (berusaha untuk) membedakan dirinya dari kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan (tingkah laku dan sikap)nya, dengan (berusaha) mengamalkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Qs. al-Ahzaab: 21).

 ...وصلى الله وسلم وبارك على سيدنا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين


TIM LPI AU_AUB




[1] Lihat kitab “Taujiihun Nazhar Ila Ushuulil Atsar” (1/40).
[2] HSR. Muslim (no. 746).
[3] Lihat keterangan Imam an-Nawawi dalam kitab “Syarh Shahih Muslim” (6/26).
[4] Kitab “Ushuulus Sunnah” (hal. 3).
[5] Lihat kitab “Jaami’ul Uluumi wal Hikam” (hal. 321).
[6] Beliau adalah imam panutan umat, Hasan bin ‘Ali bin Khalaf al-Barbahari al-Bagdadi (wafat 328 H), biografi beliau dalam kitab “Siyaru A’laamin Nubala’” (15/90).
[7] Kitab “Syarhus Sunnah” (hal. 59).
[8] Tafsir Ibnu Katsir (1/477).
[9] Kitab “Asy-Syifa Bita’riifi Huquuqil Mushthafa” (2/24).
[10] Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah,  yang  tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[11] Lihat kitab “Mahabbatur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam Bainal Ittibaa’ Wal Ibtidaa’” (hal. 65-71).
[12] HSR. al-Bukhari (no. 3261).
[13] HR. at-Tirmidzi (5/90) dan Ahmad (3/132), dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[14] Kitab “Istinyaaqu Nasiimil Unsi Min Nafahaati Riyaadhil Qudsi” (hal. 34-35.
[15] Lihat keterangan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 481).
[16] Tafsir Ibnu Katsir (3/626).
[17] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 481).
[18] Dalam kitab beliau “Al-Jaami’ Li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami’” (1/215).

Sekelumit Kisah Hijrah Rasulullah Shollahu Alaihi Wasallam

Ilustrasi Gurun Pasir
Hijrah Nabi Muhammad Shollahu Alaihi Wasallam dari Mekkah ke Madinah menjadi peristiwa besar bagi umat Islam. Kisah itu punya makna mendalam bagi muslimin dunia. Peristiwa itu kemudian menjadi awal tahun kalender Islam dan diperingati hingga sekarang.
Sebelum hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad telah berdakwah menyebarkan Islam di Mekah. Semula, Nabi berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Syiar Islam kemudian dilakukan dengan terang-terangan.
Kaum kafir Quraisy yang sejak semula memusuhi Nabi semakin gencar melakukan desakan. Intimidasi terjadi setiap waktu. Namun, saat Nabi perlu dukungan, datanglah masa sulit. Sang istri, Siti Khadijah, wafat. Padahal Siti Khadijah menjadi salah satu motivator bagi Nabi dalam menyebarkan Islam.
Setelah Khadijah, pamah Nabi, Abu Thalib, juga meninggal dunia. Semasa hidup, Abu Thalib lah yang menjadi pembela Nabi dari kebengisan kafir Quraisy. Dengan wafatnya Abu Thalib, kaum kafir Quraisy semakin semena-mena. Wafatnya Siti Khadijah dan Abu Thalib membuat Nabi berada dalam suasana duka.
Pada masa-masa yang disebut sebagai tahun duka cita itu, terjadilah peristiwa luar biasa, yaitu Isra’ Mi’raj pada 27 Rajab, sekitar rahun 621 Masehi. Pada peristiwa itu, turunlah perintah salat lima waktu.
Setelah peristiwa itu, Nabi kembali melanjutkan dakwahnya di Mekah. Pengalaman luar biasa itu diceritakan pada pengikutnya. Namun, kabar itu membuat kaum kafir Quraisy semakin menekan. Mereka menuduh Nabi berbohong.
Pada 621 M itu pula, datanglah sejumlah orang dari Madinah, menemui Nabi di Bukit Aqaba. Mereka memeluk agama Islam. Peristiwa tersebut dikenal dengan Bai’at Aqaba I.
Tahun berikutnya, atau 622 M, datanglah 73 orang dari Madinah ke Mekah. Mereka merupakan Suku Aus dan Khazraj yang semula ingin berhaji. Mereka kemudian menemui Nabi dan mengajak berhijrah ke Madinah. Mereka menyatakan siap membela dan melindungi Nabi dan para pengikutnya dari Mekah. Peristiwa ini dikenal dengan Bai’at Aqabah II.
Kondisi kaum muslim di Mekah juga semakin terdesak setelah kaum kafir Quraisy melakukan boikot kepada Nabi Muhammad dan para pengikutnya yang berasal dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Kaum Quraisy melarang setiap perdagangan dan bisnis dengan pengikut Nabi.
Selain itu, semua orang dilarang menikah dengan kaum muslimin. Tak ada yang diperkenankan bergaul dengan pengikut Nabi Muhammad. Mereka juga mendukung kelompok-kelompok yang memusuhi Nabi Muhammad. Boikot inilah yang membuat kaum muslimin semakin terdesak.
Dalam upaya menyelamatkan dakwah Islam dari gangguan kafir Quraisy, Nabi Muhammad atas perintah ALLAH Subhanahu Waa Ta'ala memutuskan hijrah dari Mekah ke Madinah. Namun sebelumnya, Nabi telah memerintahkan kaum mukminin agar hijrah terlebih dahulu ke Madinah. Para sahabat pun segera berangkat secara diam-diam agar tidak dihadang oleh kelompok kafir Quraisy.
Menjelang Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, kaum kafir Quraisy membuat rencana jahat. Mereka ingin membunuh Nabi.
Pada malam hari, para pemuda Quraisy telah mengepung rumah Nabi. Pada saat itulah Nabi meminta Ali bin Abi Thalib memakai jubahnya. Ali diminta berbaring di tempat tidur Nabi untuk mengelabui para pemuda Quraisy.
Para pemuda yang sudah disiapkan Quraisy kemudian mengintip ke kamar Nabi. Mereka melihat ada sosok yang sedang berbaring dan mengira itu adalah Nabi Muhammad, padahal yang berbaring itu adalah Ali bin Abi Thalib.
Jelang larut malam, Rasulullah keluar rumah menuju kediaman Abu Bakar Ashshiddiq. Nabi kemudian berangkat ke Gua Tsur.
Para pemuda Quraisy yang mengepung rumah Nabi masuk ke dalam rumah. Namun mereka alangkah terkejut, ternyata Nabi sudah tidak ada. Sosok yang terbaring di tempat tidur itu ternyata Ali bin Abi Talib.

Keajaiban Gua Tsur

Sementara, Nabi terus berjalan. Untuk mengelabui kaum Quraisy yang telah menutup semua jalur ke Madinah, Nabi menempuh jalan yang tak biasa digunakan penduduk.
Tibalah Nabi di Gua Tsur. Nabi bersama Abu Bakar tinggal di sana selama kurang lebih tiga hari.
Gua Tsur sungguh sempit. Jarang disinggahi manusia. Sementara, kaum Quraisy mondar-mandir ke segala penjuru mencari Nabi dan Abu Bakar.
Kelompok Quraisy sebenarnya sudah tiba di Gua Tsur. Pimpinan mereka bahkan hendak masuk ke gua yang dijadikan tempat persembunyian Nabi dan Abu Bakar itu. Namun tak jadi.
Mereka melihat banyak sarang laba-laba di mulut gua. Selain itu, banyak pula burung liar di sana. Sehingga mereka mengira tak mungkin ada orang di dalam gua tersebut.
Setelah tiga malam berada di gua, pada tanggal 1 Rabi’ul Awwal tahun pertama Hijriyah, atau pada tanggal 16 September 622 M, Nabi, Abu Bakar, ditemani Amir bin Fuhairah, beserta seorang penunjuk jalan, Abdullah bin Uraiqith, keluar dari gua. Mereka berangkat menuju Madinah.
Nabi duduk di atas unta, yang dalam kitab tarikh disebut dengan nama “Al-Qushwa”. Selama tujuh hari tujuh malam mereka berjalan menuju Madinah, melewati gurun pasir yang gersang.

Pada tanggal 8 Rabiul Awwal, rombongan Nabi tiba di Quba. Mereka disambut dengan hangat oleh kaum muslimin di sana.
Setelah dari Quba, atau sekitar satu kilo­meter dari Quba, Nabi bersama umat Islam lainnya melaksanakan salat Jumat di tempat Bani Salim bin Auf. Untuk mem­peringati peristiwa itu, dibangunlah “Masjid Jumat” di lokasi ini.
Nabi melanjutkan perjalanan pada hari itu juga. Rombongan itu akhirnya tiba di Madinah pada hari Jumat, 12 Rabi’ul Awwal itu juga atau tahun 13 Kenabian. Sambutan penuh suka cita diiringi isak tangis penuh haru dan kerinduan menyeruak di Madinah.
Syair pun berkumandang:
Thola‘al badru ‘alayna
Min Tsaniyyatil Wada’
Wajabasy syukru ‘alayna
Ma da‘a lillahi da‘
Ayyuhal mab‘utsu fina
Ji’ta bil amril mutha’
Artinya:
Telah nampak bulan purnama
Dari Tsaniyyah Al-Wada’
Wajiblah kami bersyukur
Atas masih adanya penyeru kepada Allah
Wahai orang yang diutus kepada kami
Engkau membawa sesuatu yang patut kami taati
(Dari berbagai sumber)

Wallahu A’lam Bis Showab.

TIM LPI AU_AUB

Download Sekarang Juga Aplikasi : MyKAHA


       Alhamdulillah Telah Hadir Di Genggaman Kita Aplikasi Android & IOS MyKAHA, Bisa Langsung Download Di Google Play / App Store Smartphone Anda.
       Aplikasi Dengan Segudang Manfaat Untuk Kita Semua, Baik Pemesaan Tiket Kereta Api, Pesawat, Hotel, Pulsa, Token PLN, Dsb, Yang Pasti Harga Murah dan Segalanya Mudah.
       Yuuk Download Sekarang Juga Aplikasi MyKAHA, Aplikasi dari Ummat Untuk Ummat.

Download Disini : https://play.google.com/store/apps/details?id=com.mykaha.apps&rdid=com.mykaha.apps

 

     

Malaikat Yang Menjaga Pintu Masjid Saat Sholat Jumat

    


    Satu dari enam rukun iman yang wajib kita ketahui adalah beriman kepada malaikat Allah. Malaikat ini merupakan makhluk Allah yang diciptakan dari cahaya dan sangat patuh terhadap perintah-Nya.

    Berbeda dengan manusia, malaikat tidak dianugerahi nafsu yang menjadi pembeda antara mereka dengan kita manusia.

    Di dalam ajaran Islam, terdapat sepuluh nama malaikat yang wajib diketahui lengkap dengan tugas-tugasnya. Dari sepuluh nama itu ada nama-nama malaikat yang sepaket seperti Rakib dan Atid yang bertugas untuk mencatat amal baik dan amal buruk dari setiap manusia.

    Tetapi khusus di hari Jumat dalam beberapa riwayat dikatakan ada malaikat yang menjaga pintu masjid untuk mencatat kehadiran jemaah salat Jumat. Siapakah mereka?

    Dari Abu Hurairah ra Rasulullah saw bersabda, "Jika hari Jumat telah tiba, maka akan ada para malaikat di setiap pintu-pintu masjid. Mereka akan mencatat setiap orang yang hadir dari yang pertama, lalu berikutnya dan seterusnya. Hingga ketika imam telah naik mimbar para malaikat itu menutup catatan mereka, lalu para malaikat itu ikut mendengarkan khotbah." (HR. Bukhari 3211)

    Hadist di atas menjadi landasan bahwa semakin awal seseorang datang saat salat Jumat, maka akan lebih utama. Berbeda halnya dengan mereka yang suka telat datang, maka namanya tidak akan masuk dalam catatan malaikat Allah karena mereka sudah menutupnya.

    Adapun keutamaan seseorang yang datang ke masjid saat salat Jumat tergantung pada urutan ke berapa ia datang.

    Dalam sebuah hadis dikatakan, "Barang siapa yang berangkat salat Jumat pada jam pertama, seakan-akan ia berkurban dengan seekor unta. Siapa yang berangkat pada jam kedua, maka seakan-akan berkurban dengan seekor sapi. Siapa saja yang berangkat pada jam ketiga, seakan-akan dirinya berkurban dengan kambing bertanduk. Siapa saja yang berangkat pada jam keempat, seakan-akan menghadiahkan seekor ayam jantan. Siapa saja yang berangkat pada jam kelima, maka seakan-akan menghadiahkan sebutir telur.
Namun setelah imam keluar, maka catatan amal itu ditutup oleh malaikat, kalam catatannya sudah diangkat, dan para malaikat berkumpul di mimbar untuk mendengarkan Dzikir (Khotbah). Siapa saja yang datang setelah itu, maka ia datang hanya untuk memenuhi hak salat dan tidak mendapatkan keutamaan apapun." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

    Terkait dengan riwayat tentang malaikat di atas, dalam kitab Fathul Bari, Syeikh Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa malaikat penjaga pintu masjid itu berbeda dengan Rakib dan Atid. Karena untuk Rakib dan Atid memang sudah ada pada setiap manusia bukan hanya saat salat Jumat saja.

    Beliau berkata, "Adapun malaikat yang menutup catatannya saat khatib naik mimbar adalah catatan yang berkaitan dengan keistimewaan untuk bersegera menuju salat Jumat bukan catatan amal lainnya. Sementara amal mendengarkan khotbah, melaksanakan salat Jumat, zikir, berdoa, khusyuk saat beribadah atau sejenisnya, semuanya akan dicatat oleh dua malaikat pencatat amal (Rakib dan Atid)."

    Dengan demikian, alangkah baiknya seseorang tidak menunda-nunda keberangkatannya untuk salat Jumat sebelum khatib naik mimbar karena ada malaikat khusus yang mencatat amal baik kita. Wallahu a'lam.

Baca Juga

Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram 1440H


       Sebelum membahas lebih jauh terkait dengan doa akhir tahun, alangkah baiknya kita mengetahui sejarah penetapaan awal tahun dan akhir tahun hijraiyah. Menurut keterangan para ahli sejarah, penetapan penanggalan 1 Muharram ini sebagai kalender resmi dalam Islam.
       Kalender ini muncul sejak jaman Umar bin khatab radhiyallahuanhu. Dan hal ini juga ditandai dengan adanya surat menyurat yang sudah dilakukan oleh para keum muslimin pada saat itu.
       Sehingga dengan itu, penetapan bulan hijriyah masih belum dikenal pada jaman Abu Bakar as-Shiddiq dan zaman Nabi Muhammad Shollahu Alaihi Wasallam. Oleh karena itu, pada masa beliau belum ada yang mengenal istilah awal tahun dan akhir tahun.
       Mungkin dengan memahami kedaaan diatas, kita dapat menyimpulkan kalau Nabi Muhammad Shollahu Alaihi Wasallam tidak pernah secara langsung memberikan ajaran mengenai doa akhir tahun dan awal tahun dalam penanggalan ini, akan tetapi beliau mengajarkan kepada para sahabatnya untuk berdoa berjama'ah karena doa berjama'ah atau perkumpulan berjama'ah dengan niat mengingat ALLAH Subhanahu Waa Ta'ala sangat dicintai oleh Beliau.
       Sehingga, doa akhir tahun tahun ini telah dikerjakan oleh sejumlah As-Salafu Sholeh (orang-orang sholeh sesudah Nabi Muhammad SAW). Berikut bacaan doa awal tahun dan doa akhir tahun:

Doa Akhir Tahun
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِـيمْ
وَصَلىَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ .
اَللَّهُمَّ مَا عَمِلْتُ فِي هَذِهِ السَّنَةِ مِمَّا نَهَيْتَنِيْ عَنْهُ فَلَمْ اَتُبْ مِنْهُ وَلَمْ تَرْضَهُ وَلَمْ تَنْسَهُ وَحَلُمْتَ عَلَيَّ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِيْ ، وَدَعَوْتَنِيْ اِلَى التَّوْبَـةِ مِنْهُ بَعْدَ جُرْأَتِي عَلَى مَعْصِيَتِكَ فَاِنِّيْ اَسْتَغْفِرُكَ فَاغْفِرْلِيْ .
وَمَا عَمِلْتُ فِيْهَا مِمَّا تَرْضَاهُ وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهِ الثَّوَابَ فَاَسْئَلُكَ اَللَّهُمَّ يَا كَرِيْمُ يَاذَا الْجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ اَنْ تَتَقَبَّلَهُ مِنِّيْ وَلاَتَقْطَعْ رَجَائِيْ مِنْكَ يَاكَرِيْمُ .
وَصَلىَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَّعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ .

BISMILLAAHIRRAMAANIRRAHIIM
WASHALLALLAAHU ‘ALAA SAYYIDINAA WA MAULAANAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WA SHAHBIHII WASALLAM.
ALLAAHUMMA MAA ‘AMILTU FII HAADZIHIS SANATI MIMMAA NAHAITANII ‘ANHU FALAM ATUB MINHU WALAM TARDHAHU WALAM TANSAHU WA HALUMTA ‘ALAYYA BA’DA QUDRATIKA ‘ALAA ‘UQUUBATII WADA’AUTANII ILAT TAUBATI MNHU BA’DA JUR-ATII ‘ALAA MA’SHIYATIKA FA INNII ASTAGHFIRUKA FAGHFIR LII.
WA MAA ‘AMILTU FIIHAA MIMMAA TARDHAAHU WA WA’ADTANII ‘ALAIHITS TSAWAABA FA AS-ALUKALLAAHUMMA YAA KARIMU YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAM AN TATAQABBALAHUU MINNII WA LAA TAQTHA’ RAJAA-II MINKA YAA KARIIM.
WASHALLALLAAHU ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WA SHAHBIHII WASALLAM.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang
       Semoga rahmat Allah tercurah kepada junjungan kami dan pemimpin kami Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa aalihii wasallam keluarganya, dan para sahabat beliau.
       Ya Allah… segala amal yang aku lakukan pada tahun ini (yang telah silam), dari hal-hal yang Engkau larang kepadaku, lalu aku tidak bertaubat, sedangkan Engkau tidak meridhoinya, dan Engkau tidak melupakannya, dan menyantuni atasku sesudah kekuasaan-Mu atas siksa-siksa padaku.
       Engkau menyeru aku bertaubat darinya sesudah aku lakukan durhaka pada-Mu. Perkenankanlah Engkau mengampuni aku. Dan segala apa yang aku lakukan di dalamnya dari hal-hal yang Engkau ridhoi, dan Engkau telah menjanjikan pahala kepadaku, maka aku memohon kepada-Mu ya Allah Dzat yang Mulia, hai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan, hendaklah Engkau terima dariku, janganlah Engkau memutuskan harapanku dari rahmat-Mu hai Dzat Yang Mulia.
       Shalawat dan salam, tetapkanlah pada junjungan kami Nabi Muhammad, keluarga, dan shahabat beliau.

( Di Kutip Dari Kitab Kanzunnajaah Wassuruur halaman 298, karya Syeikh ‘Abdul Hamid ibn Muhammad ‘Ali Quds ) .
Doa Awal Tahun    
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِـيمْ
 .وَصَلىَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ 
 اَللَّهُمَّ أَنْتَ اْلأَبَدِيُّ القَدِيْمُ اْلأَوَّلُ وَعَلَى فَضْلِكَ اْلعَظِيْمِ وَجُوْدِكَ اْلُمعَوَّلِ وَهَذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ أَقْبَلْ .
 أَسْأَلُكَ اْلعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَائِهِ وَجُنُوْدِهِ ، وَالْعَوْنَ عَلَى هَذَا النَّفْسِ الأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ وَالاِشْتِغَالِ بِمَا يُقَرِّبُنِي إِلَيْكَ زُلْفَى ، يَاذَا اْلجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ .
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ .

BISMILLAAHIRRAMAANIRRAHIIM
WASHALLALLAAHU ‘ALAA SAYYIDINAA WA MAULAANAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WA SHAHBIHII WASALLAM.
ALLAAHUMMA ANTAL ABADIYYU ALQADIIMU AL AWWALU WA ‘ALAA FADHLIKAL ’AZHIIMI WA JUUDIKAL MU’AWWALI WA HAADZAA ‘AAMUN JADIIDUN QAD AQBALA, NAS`ALUKAL ’ISHMATA FIIHI MINASY SYAITHAANI WA AULIYAA-IHII WA JUNUUDIHII.
WAL ‘AUNA ‘ALAA HAADZANNAFSIL AMMAARATI BISSUU`I WAL ISYTIGHAALA BIMAA YUQARRIBUNII ILAIKA ZULFAA YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAMI YAA ARHAMAR RAAHIMIIN.
WASHALLALLAAHU ‘ALAA SAYYIDINAA WA MAULAANAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WA ASHHAABIHII WASALLAM.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang
       Semoga rahmat Allah tercurah kepada junjungan kami dan pemimpin kami Nabi Muhammad-shallallaahu ‘alaihi wa aalihii wasallam, keluarganya, dan para sahabat beliau.
       Wahai Allah… Engkaulah Dzat yang abadi, yang terdahulu,yang mula-mula. Atas AnugerahMu yang besar dan kemurahanMu yang dijadikan pegangan, inilah tahun baru telah datang. Kami mohon kepadaMu pemeliharaan selama tahun ini dari setan, sahabat2, dan pasukannya. Dan pertolonganmu untuk melawan nafsuku ini yang selalu mengajak kepada kejahatan, serta sibukkanlah (aku) dalam melakukan amal yang dapat mendekatkan diriku kepadaMu sedekat-dekatnya, Wahai Dzat yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.
       Shalawat dan salam, tetapkanlah pada junjungan kami Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau.

( Di Kutip Dari Kitab Kanzunnajaah Wassuruur halaman 68, karya Syeikh ‘Abdul Hamid ibn Muhammad ‘Ali Quds ) .


SURABAYA,  1  MUHARRAM  1440H
                     10 SEPTEMBER 2018M

                                                 Tim Penyusun LPI AU-AUB