Hikmah & Renungan Isra’ Mi`raj

Al-Habib `Umar bin Muhammad Bin Salim Bin Hafidz Berkata:



Kita bertemu lagi dengan malam di mana dalam dunia Islam, ada tradisi/kebiasaan yang dikenal sebagai peringatan perayaan Isra' (Perjalanan Malam) dan Mi'raj (Pengangkatan/kenaikan) Nabi mulia kita, Yang Terpilih Sayyidina Rasulullah ﷺ. 

Isra 'Mi'raj adalah mukjizat atau keajaiban besar yang Allah berikan kepada Sayyiduna Muhammad ﷺ dari masyarakat langit dan bumi, untuk menunjukkan keunggulannya atas keseluruhan umat manusia, baik jin, malaikat dan seluruh ciptaan Allah. 

Ada pelajaran besar dalam peristiwa yang terjadi dan cara untuk meningkatkan keyakinan dan kepastian. 
Para ulama mengatakan bahwa malam terbaik dalam kaitannya dengan umat secara keseluruhan adalah malam di mana Nabi lahir, sedangkan malam terbaik dalam kaitannya dengan Nabi sendiri adalah malam Isra 'Mi'raj.

Hari hari Sebelum malam itu, Nabi ﷺ telah diuji dengan kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan itu adalah salah satu kearifan Allah bahwa Dia menganugerahkan karunia-Nya sesudah melewati kesulitan/cobaan.

مستهم البأساء والضراء وزلزلوا حتى يقول الرسول والذين آمنوا معه متى نصر الله ۗ ألا إن نصر الله قريب

Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: 
"Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (Al-Baqarah, 214)

Pada akhir hidupnya, Rasulullah mengatakan bahwa perlakuan terburuk yang ia pernah terima dari orang-orang kafir adalah penolakan disertai kekerasan yang beliau terima di tangan masyarakat Ta'if. Sebagian besar ulama yang pelajari dan menulis Sirah mengatakan bahwa Isra 'Mi'raj berlangsung tak lama setelah peristiwa Ta'if, satu tahun sebelum Hijrah pada malam tanggal 27 bulan Rajab.

Nabi ﷺ melihat beberapa peristiwa sebelum Isra 'Mi'raj dan juga dalam mimpinya sebagai persiapan sebelum peristiwa Isra' Mi'raj benar-benar terjadi. 

Ada segelintir orang yang mengatakan bahwa semua peristiwa yang terjadi pada Isra 'Mi'raj berlangsung hanya dalam mimpi, tentu saja ini tidak benar: Nabi ﷺ mengalami peristiwa ini dengan jasad dan jiwanya. Karena Seandainya Isra' Mi'raj ini hanya terjadi dalam mimpinya Nabi, tentunya orang-orang kafir Quraisy tidak akan mengalami kesulitan menerimanya. Mereka tidak akan bertanya: "Bagaimana bisa Anda bepergian ke Baytu Lahm semalam dan bersama kami di Makkah pagi ini?"

Allah berfirman: 
سبحان الذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام إلى المسجد الأقصى الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا ۚ إنه هو السميع البصير

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Al-Isra’ 1).

Ketika Allah mau berbicara dengan Sayyidina Musa alaihissalaam, Allah menyuruhnya menunggu 30 hari dan kemudian 10 hari lagi (40 hari),

۞ وواعدنا موسى ثلاثين ليلة وأتممناها بعشر فتم ميقات ربه أربعين ليلة ۚ

Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu 30 malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan 10 (malam lagi maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya 40 malam.(Al-A`raf,142)

Dan Allah, tidak memberitahu Hamba Terkasih-Nya ﷺ untuk menunggu. Sebaliknya perintah Nya datang tiba-tiba, tanpa peringatan apapun. Malaikat datang membawa titah, Dada Nabi kita dibelah, dan hatinya dicuci dan diisi dengan pengetahuan dan kesabaran.
Buraq kemudian dibawa kepadanya. Tentu saja Allah bisa membuat dia melakukan perjalanan tanpa Buraq, tapi sarana ini dikirim untuk menghormati dan memuliakan beliau ﷺ . 

Jibril berkata kepada Buraq (setelah melihat buraq yang tampak gelisah pada awalnya): "Apakah kamu tidak malu, Wahai Buraq? Demi Allah, tidak ada yang lebih mulia di sisi Allah yang pernah menunggangimu! ".

Nabi berhenti di sejumlah tempat pada waktu Isra' untuk menekankan pentingnya mengunjungi tempat-tempat di mana Allah menganugerahkan karunia-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang saleh. Beliau ﷺ diperintahkan untuk berusaha mendekat diri kepada Allah dengan berdoa di dekat pohon di mana Allah berbicara kepada Musa, berdoa di Gunung Tsur, di mana Allah memberikan wahyu kepada Musa, dan di Baytu Lahm, di mana Nabi Isa alaihissalaam lahir. Seluruh penjuru bumi dibuat tempat berdoa dan bersujudnya Nabi ﷺ, apa pentingnya beliau berdoa di tempat-tempat itu jika tidak mencari berkah (tabarruk) dan bantuan spiritual dari mereka? Hal ini juga diriwayatkan dalam kitab Sahih Muslim bahwa ia mengunjungi makam Musa alaihissalaam dan menyaksikan nabi Musa sedang sholat didalam kuburnya.

Rasulullah ﷺ berkata kepada sahabatnya: "Jika aku berada di sana, aku bisa menunjukkan kuburnya kepada kalian". Beliau dengan demikian telah mengajarkan umatnya betapa pentingnya mengetahui lokasi kuburan para nabi dan juga penting mengunjungi mereka.

Ketika beliau melanjutkan perjalanan, seseorang memanggilnya dari sisi kanan, tapi beliau tidak menanggapi. Jibril memberitahukan bahwa yang memanggil itu adalah orang Yahudi, andai beliau menjawab, umatnya akan mengikuti jalan orang-orang Yahudi. Lalu seseorang memanggilnya dari sisi kiri dan sekali lagi Beliau tidak menanggapi. Jibril memberitahukan bahwa itu adalah pemanggil dari orang-orang Kristen, kalau dijawab, umatnya akan mengikuti jalan orang-orang Kristen. Dengan demikian, meskipun sekarang banyak upaya Kristenisasi, umat Islam yang teguh akan tetap dalam perawatan dan perlindungan Allah.

Sekali lagi beliau dipanggil untuk ketiga kalinya, dan sekali lagi Nabi ﷺ tidak menanggapi. Dan Jibril memberitahukan bahwa itu adalah dunya atau dunia materi sedang memanggilnya, kalau beliau menjawab, umatnya akan memilih dunia ini dari pada akhirat. 

Dunia kemudian menampakkan diri kepadanya dalam bentuk seorang wanita tua. Jibril memberitahukan bahwa semua yang tersisa dari kehidupan dunia ini sebelum hari kiamat adalah seperti sisa umur wanita tua yang telah menjalani hidup. Kita menyaksikan semua peperangan dan perjuangan yang sedang berlangsung zaman ini dan pada kenyataannya kehidupan ini adalah seperti seorang wanita tua di ambang kematian dan di depan kita tak lama lagi adalah kehidupan berikutnya! Semoga Allah memberi kita husnul khotimah! Karena penolakan Nabi untuk menanggapi pemanggilan dari dunya, masih ada sampai hari ini orang-orang yang tahu bahwa dunia tidak berharga.

Rasulullah ﷺ mengimami para anbiya dalam sholat di Masjid al-Aqsa. Jibril memberitahukan bahwa jiwa/ruh setiap nabi/rasul yang dikirim oleh Allah dari zaman Adam sampai Isa di kumpulkan kembali bersama jasadnya untuk sholat menjadi makmum di belakang Rasulullah ﷺ sehingga mereka dapat mengetahui maqam dari seluruh penghulu manusia, Sayyidina Muhammad ﷺ . Beliau adalah imam yang memimpin semua nabi dan malaikat dalam sholat. Mengapa kita tidak membuatnya menjadi imam kita? (Dikatakan bahwa menjadi Imam para Anbiya' tidaklah Membuat Nabi Kita Mulia atau beruntung, tapi para Anbiya' lah yang merasa lebih mulia karena bisa sholat di belakang Nabi kita.

 اللّهمّ صلِّ على سيّدنا محمّدٍ وآله وصحْبه وسلِّم


Dari Baitul Maqdis, Nabi kemudian menuju langit yang paling rendah hingga langit tertinggi, Para malaikat dan penghuni langit telah diberitahu bahwa Nabi akan datang dan merupakan kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan penghormatan, seperti para sahabat yang memiliki kehormatan itu di bumi. 

Meski Orang-orang di bumi melemparkan batu ke arahnya dan menghinanya tetapi orang-orang di langit memberinya sambutan terhangat. (Juga dikatakan, bahwa seluruh ciptaan Allah diseluruh Jagat Raya merindukan untuk menerima bagian dari rahmat yang dibawa Nabi ﷺ, dan penduduk Langit baru mendapatkan bagian rahmat nabi pada malam Isra Mi'raj).

Dimalam itu Nabi bertemu dengan datuknya, Adam dan Nabi lainnya di berbagai tingkat langit, dan semuanya ada pelajaran yang bisa dipetik. Dan meskipun Nabi adalah yang termulia dari seluruh ciptaan Allah, tetapi beliau juga memiliki akhlak terbaik, beliau mendatangi para anbiya satu persatu, mendahului memberi salam, menyapa mereka, dan mendoakan dan didoakan mereka pula..

Jibril juga meminta malaikat Malik untuk menunjukkan kpd beliau neraka dengan berbagai isi dan azabnya (dimana Nabi bersabda,'jika kalian melihat atau mengetahui apa yang kulihat dan kuketahui, kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis!') dan kemudian beliau juga melihat Jannah dengan segala kenikmatannya, dan Setelah itu beliau diantar menuju ke al-Bayt al-Ma'mur, yaitu bangunan yang menyerupai Ka`bah di atas langit ketujuh. Dan posisinya terletak tepat di atas Ka'bah yang ada di bumi, setiap saat ada 70.000 malaikat memasukinya dan beribadat disitu.

Nabi ﷺ juga masuk dan sholat di dalamnya, bersama dengan roh-roh dari sebahagian orang orang pilihan Allah. Kemudian beliau pergi ke al-Sidratul Muntaha, pohon yang ukurannya dan keindahan tak terlukiskan. Dikatakan Jika selembar daunnya terjatuh itu akan menutupi langit dan bumi. Ini adalah titik akhir dari pengetahuan penciptaan. Di sinilah Jibril berhenti dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. dia mengatakan bahwa jika ia pergi lebih jauh, ia akan habis terbakar, tapi ia mengatakan kepada Nabi untuk melanjutkan perjalanannya sendirian. Sayyidina Muhammad ﷺ dengan seluruh jiwa dan raga serta akhlaknya naik ke Tahta Allah dan menjatuhkan diri bersujud.

Nabi Musa alaihissalaam telah diperintahkan untuk melepaskan sandalnya ketika Allah berbicara kepadanya, tapi Habibullah tidak diperintahkan untuk melakukan hal yang sama (waktu ingin melepaskan 'Sandalnya' Allah melarangnya). Allah kemudian memerintahkan dia untuk mengangkat kepalanya berhadapan dengan Allah dan Nabi berkata: 
"Salam, berkat dan doa terbaik hanya kepada Allah" 

 (التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لله),

Dan Allah menjawab:
“Salam Damai Atasmu wahai Rasulullah dan Rahmat dan Barokah Allah".
 (السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ),

Pada titik ini, ketika Allah telah mewujudkan diri-Nya kepadanya, Nabi mengingat para salehin dari umatnya dan bangsa-bangsa sebelumnya. Beliau berkata: 

"Damai sejahtera atas kami dan atas hamba hamba Allah yang saleh",
(السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ),

Para malaikat di seluruh langit kemudian berteriak: 

"Kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya", 
(أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ الله), 

Kemudian Allah berfirman kepadanya, "Aku telah mengambil mu sebagai Habibullah dan Aku telah melapangkan hati dan mengangkat tinggi martabatmu, sehingga setiap kali NamaKu disebutkan, namamu juga akan disebutkan menyertai, Aku menjadikan Ummatmu yang terbaik dari seluruh Ummat, menciptakan mereka terakhir dan yang pertama menghadapKu pada hari kiamat. Aku menciptakan engkau yang pertama dan mengutus sebagai penutup dari seluruh Nabi".

Allah berbicara dengan lemah lembut ke Habib-Nya dan mengingatkan dia tentang berkat-Nya kepadanya. Dia mengatakan hal hal kepada-nya yang hanya Dia yang tahu.

Allah memerintahkan untuk ummatnya untuk melaksanakan lima puluh kali shalat wajib. Meski pada akhirnya dikurangi menjadi lima waktu dengan pahala tetap lima puluh. Adakah mereka yang tidak mampu melakukan sholat lima waktu tidak malu pada Tuhan mereka? Apa yang akan mereka lakukan jika harus sholat lima puluh kali setiap hari? 

Allah membuat lima kali sholat wajib pada hamba-Nya, di mana ada kesempatan untuk berkomunikasi dengan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. "Keadaan Yang Terdekat dari hamba dengan Tuhannya adalah ketika ia ber sujud".

Nabi telah diberkati dengan kemampuan untuk bertemu Tuhannya, berkah yang tidak ada orang lain akan menerima sampai mereka masuk surga. 

Bertemu/Melihat disini tidak dapat dipahami dengan cara biasa/lazim karena Allah adalah Maha Suci dan tidak bisa dibatasi tempat atau arah. ada sebagian Muslim yang menyangkal bahwa melihat Allah adalah mungkin, dan kami setuju dengan mereka bahwa melihat Allah dalam arti seperti melihat dengan cara biasa atau lazim adalah mustahil. Namun, apa yang kami pahami 'melihat Allah' adalah sesuatu yang jauh lebih besar dari itu, karena Perwujudan murni cahaya Allah, "mustahil terlukiskan".

Dalam perjalanan pulang Nabi bertemu Sayyidina Musa yang sangat ingin untuk ikut menerima beberapa cahaya yang memancar dari wajah Nabi ﷺ karena dirinya baru saja bertemu Tuhannya. Nabi Musa telah meminta untuk melihat Allah sewaktu di bumi namun permintaannya tidak dikabulkan. Ia kemudian meraup / mengambil cahaya sebanyak yang dia bisa dari wajah Nabi. Nabi ﷺ telah memberitahu kita bahwa akan datang suatu waktu ketika kaum Muslim akan mencari kemenangan melalui orang-orang yang telah melihat beliau, dan kemudian melalui orang-orang yang telah melihat orang-orang yang telah melihat dia. [Shohih Bukhari ] Hal ini menunjukkan bahwa ada rahasia yang bisa ditularkan melalui penglihatan pada wajah-wajah orang.

Rasulullah ﷺ tetap teguh atau kokoh setelah menyaksikan semua hal yang ia saksikan:
ما زاغ البصر وما طغى
لقد رأى من آيات ربه الكبرى

Penglihatannya (muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.(Al-Najm,17-18)


ما كذب الفؤاد ما رأى
Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.(Al-Najm, 11)

Semua ini terjadi hanya dalam beberapa saat. Begitu singkatnya waktu dimalam itu telah berlalu sehingga tempat di mana beliau tidur masih hangat ketika beliau kembali. Semua ini adalah contoh kecil bagaimana luar biasanya kekuasaan ilahi. Kita begitu terbiasa dengan pola berpikir sebab akibat dan hukum-hukum yang tercipta dari akal sehingga kita cenderung melupakan kehadiran kuasa ilahi dalam segala hal. 

Dalam kenyataannya hal yang kita anggap normal sebenarnya adalah keajaiban atau mukjizat - bagaimana kita duduk dan berdiri, makan dan minum dll. Allah berfirman:

أفرأيتم الماء الذي تشربون
Maka terangkanlah kepadaKu tentang air yang kamu minum.

أأنتم أنزلتموه من المزن أم نحن المنزلون
Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?(Al-Waqi`ah, 68-69)

Semoga Allah melimpahkan Sholawat kepada Baginda Nabi ﷺ yang telah melakukan perjalanan yang mengagumkan ini dan semoga Allah membangkitkan kita bersama berkumpul dengan nya. Menjadikan kita pengikut sejatinya. tidak menghalangi kita untuk bertemu dan melihat Nabi ﷺ dalam kehidupan ini, di alam Barzakh dan kehidupan berikutnya nan abadi di yaumil akhir. Memungkinkan kita untuk melihat wajah kekasihMu Ya Rabb, yang Telah Engkau izinkan untuk bertemu dengan Mu, sehingga kita bisa siap untuk bertemu dengan Mu dan Meraih semua Rahmat dan Ridha Mu di sebaik baiknya tempat yang telah Engkau Sediakan".
Aamiin Aamiin Allahumma Aamiin....


Musthofa Achmad Baradja, Lc

Keutamaan Bulan Rajab


Dalam hitungan kalender hijriyah, bulan rajab merupakan bulan ketujuh. Bulan ini termasuk salah satu bulan haram (suci) dan/atau bulan yang dimuliakan. Karena merupakan bulan haram, maka tidak heran jika dikalangan masyarakat muslim banyak yang melakukan amal-amalan ketaatan di bulan ini, termasuk menunaikan puasa sunnah rajab.  

Setiap Kali Memasuki Bulan Rajab, Rasulullah SAW Menyambutnya Dengan Membaca Doa: 

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبِ وَشَعْـبَانَ وَبَلِّغْـنـَا رَمَضَانَ

"Yaa ALLAH Berkahilah Kami DiBulan Rajab Dan Sya'ban, Dan Sampaikanlah Kami Ke Bulan Ramadhan"

Terdapat 4 (empat) bulan haram yang dikenal tradisi Islam, ketiganya secara berurutan adalah: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satunya adalah bulan Rajab. Beberapa alasan kenapa bulan-bulan tersebut dinamakan bulan haram adalah :
  • Pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
  • Pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan itu. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan. (Lihat Zaadul Masiir, tafsir surat At Taubah ayat 36)
  • Allah SWT berfirman : 
    إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ 

     Artinya :
    Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS. At-Taubah : 36)

    Keutamaan Puasa Rajab

    Hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) itu cukup menjadi hujjah atau landasan mengenai keutamaan puasa di bulan Rajab.

    Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda "Puasalah pada bulan-bulan haram." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban. Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'"

    Menurut Imam As-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan puasa sunnah, ungkapan Nabi, "Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang" itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.

    Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih imam Muslim. Bahkan berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan. Nabi bersabda : “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab).

    Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumid-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini Al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping dzulhijjah, muharram dan sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum di samping dzulqa’dah, dzul hijjah, dan muharram.

    Disebutkan dalam Kitab Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadan adalah bulan- bulan haram yaitu Dzulqa’dah, Dzul hijjah, Rajab dan Muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan al-muharram, kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh Al-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah Rajab.

    Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi menyatakan, telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasul SAW menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram, maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).

    Keistimewaan Bulan Rajab

    Berikut beberapa hadis yang menerangkan keutamaan dan kekhususan puasa bulan Rajab:
    1. Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah SAW memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:“Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).
    2. "Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan."
    3. Riwayat al-Thabarani dari Sa'id bin Rasyid: “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana berpuasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya....."
    4. "Sesungguhnya di surga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa sehari pada bulan Rajab, maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut".
    5. Riwayat (secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Rajab itu bulannya Allah, Sya'ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku."
    6. Sabda Rasulullah SAW lagi : “Pada malam mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakan sungai ini ?”Maka berkata Jibrilb a.s.: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau di bulan Rajab ini”. 

NOTE:
  • Hadits-hadits dhaif (lemah), yang tidak bisa dipastikan asalnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para ulama sepakat tidak boleh dipakai dalam perkara aqidah dan hukum agama. Ada pun penggunaan hadits dhaif untuk perkara menggalakan dan merangsang manusia untuk melaksanakan  fadhailul a’mal (amal-amal utama), akhlaq, kelembutan hati,dan semisalnya, maka para ulama berbeda pendapat.
    Imam An Nawawi mengklaim bahwa para ulama telah sepakat (konsensus) bolehnya menggunakan hadits-hadits dhaif untuk perkara fadhailul a’mal tersebut. Beliau mengatakan:
    وقد اتفق العلماء على جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال
    Para ulama telah sepakat bahwa bolehnya beramal dengan hadits-hadits dhaif dalam masalah fadhailul a’mal .. (Muqadimah Al Arbain An Nawawiyah)
    Namun, kenyataannya hal ini termasuk khilafiyah di antara para ulama Islam.  Hanya saja memang, jumhur (mayoritas) ulama  membolehkan menggunakan hadits dhaif  hanya untuk tema-tema fadhailul a’maltarghib wat tarhib, dan hal-hal semisal demi mengalakan amal shalih dan kelembutan hati dan akhlak. Tetapi pembolehan ini pun mereka memberikan syarat, yakni:
    1. Tidak terlalu dhaif, tidak sampai perawinya tertuduh sebagai pendusta dan pemalsu hadits.
    2. Tidak bertentangan dengan tabiat umum agama Islam.
    3. Jangan menyandarkan atau memastikan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamketika mengamalkannya.
    Mereka yang membolehkan di antaranya adalah Imam Ahmad, Imam Al Hakim, Imam Yahya Al Qaththan, Imam Abdurrahman bin Al Mahdi, Imam Sufyan Ats Tsauri, Imam An Nawawi, Imam As Suyuthi, Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam, Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, dan lainnya.
    Sedangkan pihak yang menolak adalah Imam Al Bukhari, Imam Muslim, Imam Yahya bin Ma’in, Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnul ‘Arabi, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Nashiruddin Al Albani dan lainnya dari kalangan hambaliyah  kontemporer, juga yang nampak dari pandangan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah. Bagi mereka, selama hadits shahihmasih ada, maka cukuplah bersandar dengannya, baik dalam urusan aqidah, syariah, fadhailul a’mal, akhlak, dan semisalnya. Sebab, menyibukkan diri dengan hadits dhaif, akan membuat terlupakannya hadits-hadits shahih. Menggunakan hadits dhaif, sama juga memasukkan ke dalam Islam sesuatu yang bukan bagian dari Islam. Tidak menggunakan hadits shahih, sama juga menghapuskan dari Islam sesuatu yang sebenarnya merupakan bagian dari Islam. Inilah bahayanya.
    Berikut ini saya sampaikan  fatwa Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah dalam situsnya tentang menggunakan hadits dhaif untuk fadha’ilul a’mal.
    Pertanyaan: Bagaimana pandangan syara’ atas para dai, penasihat, khathib, dan ulama yang banyak menyampaikan hadits-hadits dhaif, dan orang  bodoh dari kalangan penuntut  ilmu pemula yang  tidak memahami kelemahannya, dan tidak tahu kesungguhan para ulama hadits. Jika mereka diingkari, mereka menjawab; “hadits dhaif boleh diamalkan untuk Fadhaiul A’mal, juga dalam pelajaran, dan targhib (kabar gembira) dan tarhib (ancaman).
    Jawaban:  (Fatwa Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah)
    Bismillah, wal hamdulillah, washshalatu wassalam ‘ala rasulillah, wa ba’du:
    “Sebagian ulama berpendapat bahwa dibolehkannya menyampaikan hadits-hadits dhaif dalam urusan nasihat dan bimbingan, dan dari apa-apa yang disitilahkan dengan fadhailul a’mal. Sampai-sampai banyak  yang mengklaim bahwa ulama telah  sepakat  terhadap pendapat ini.
    Tidak ragu lagi, ini adalah salah besar. Sejumlah besar para ulama muhaqqiq (peneliti) berpendapat bahwa tidak boleh mengamalkan hadits dhaif dalam fadhailul a’mal dan lainnya. Ini adalah pendapat Imam Bukhari dan dikuatkan oleh Syaikh Al Albani pada masa kita sekarang.
    Lagi pula, pihak yang membolehkan mengamalkan hadits dhaif untuk Fadhail juga memberikan syarat dengan syarat yang begitu penting sampai-sampai tidak mungkin, sehingga sama saja itu sebagai hadits shahih. Syarat yang mereka keluarkan adalah: hadits tersebut kedhaifannya ringan, dan  kandungannya   memiliki dasar yang kuat yang telah ada pada hadits lain yang tidak dhaif, dan hendaknya si penasehat menjelaskan kepada manusia bahwa hadits tersebut adalah dhaif.  Demikian.
    Ulama yang luas ilmu-ilmu syariat selamanya tidak akan pernah berhujjah dengan hadits-hadits dhaif, karena hadits-hadits shahih begitu  banyak dan mencukupi. Namun, orang-orang yang sering menggunakan hadits dhaif, mereka hanyalah orang-orang yang  membuat  mudah  populernya   hadits-hadits dhaif, lantaran sedikitnya pergaulan mereka terhadap hadits dan ilmu-ilmunya.”
    (Dalam Fatwanya yang lain Syaikh Al Qaradhawi mengatakan):
    “Banyak amal yang disandarkan oleh mereka kepada apa-apa yang telah disiarkan oleh orang yang menganggap hadits dhaif itu boleh diriwayatkan dalam fadhailul amal, kisah, targhib, tarhib, dan semisalnya.
    Kami (Syaikh Al Qaradhawi)  akan memberikan sejumlah peringatan sebagai berikut:
    Pertama. Pendapat ini tidaklah disepakati, di sana terdapat sejumlah besar para imam  mu’tabar yang menolak menggunakan hadits dhaif dalam semua bidang, sama saja baik fadhailul a’mal dan lainnya.
    Itu adalah pendapat Imam Yahya bin Ma’in, dan segolongan para imam, dan juga zahirnya pendapat Imam Al Bukhari; orang yang telah meneliti dengan cermat dan detil terhada syarat diterimanya hadits. Juga Imam Muslim yang   dalam mukadimah Shahihnya telah menilai buruk terhadap para periwayat hadits dhaif dan munkar, juga terhadap orang yang meninggalkan khabar yang shahih. Ini juga kecenderungan pendapat Imam Abu Bakar bin Al ‘Arabi pemimpin madzhab Malikiyah dizamannya, juga Imam Abu Syamah pemimpin madzhab Syafi’iyah pada zamannya, dan pendapat Imam Ibnu Hazm, dan selainnya.
    Kedua. Jika telah ada dalam hadits shahih dan hasan  yang memuat makna dan maksud pelajaran dan peringatan, maka tidak ada artinya bergantung  dengan hadits lemah lagi lembek. Allah Ta’ala telah mencukupkan dengan baik dibanding yang jelek, dan jarang sekali makna agama, akhlak, dan taujih, yang tidak ditemukan dalam hadits shahih dan hasan, betapa itu sudah memadai.  Tetapi lemahnya keinginan,  dan mengambil segala apa saja yang datang kepadanya tanpa mengkaji dan muraja’ah, membuat begitu mudahnya tersebarnya hadits dhaif secara mutlak.
    Ketiga. Sesungguhnya hadits dhaif tidak boleh disandarkan kepad Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan bentuk kata jazm (pemastian). Disebutkan dalam kitab At Taqrib danSyarhnya: “Jika anda hendak meriwayatkan hadits dhaif tanpa isnad, maka jangan katakan:Qaala Rasulullah  kadza  (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda begini).’ Atau kata lainnya yang semisal pemastian. Tetapi katakanlah: ruwiya ‘anhu kadza(diriwayatkan darinya begini), atau disampaikan kepada kami darinya begini,    atau  telah sampai, atau telah dating, atau telah dinukil darinya, dan yang semisalnya dari bentk katatamridh (bentuk kata yang menunjukan adanya cacat), seperti rawaa ba’dhuhum (sebagian mereka meriwayatkan). Maka, apa yang menjadi kebiasaan sebagian khatib, juru nasihat, ketika menyampaikan hadits dhaif dengan ucapan: Qaala Rasulullah (Rasulullah telah bersabda), adalah pekara yang tidak dapat diterima.
    Ketiga.  Ulama yang membolehkan menggunakan hadits dhaif dalam urusan targhib dantarhib tidaklah membuka pintu bagi semua yang dhaif. Mereka memberikan syarat untuk itu, yakni ada tiga syarat:
    1.       Kedhaifannya tidak terlalu.
    2.       Hadits tersebut   masih masuk ke dalam prinsip dasar  syariat yang dapat diamalkan melalui Al Quran dan Sunah yang shahih.
    3.       Ketika mengamalkannya tidak memastikan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, justru hendaknya berhati-hati.
    Dari sini telah jelas, bahwa tak satu pun ulama membolehkan menggunakan hadits dhaif dengan pembolehan  tanpa ikatan dan syarat. Bahkan mereka memberikan tiga syarat sebagaimana yang telah disebutkan.
    Sebagai tambahan dari syarat asasi ini, yaitu hendaknya hal itu pada fadhailul a’mal saja tidak berakibat pada hukum syariat. Dalam pandangan saya, hendaknya syarat ini ditambah dua syarat lagi, yakni:
    1. Isinya tidak mengandung hal-hal yang bombastis dan ditolak oleh akal, syariat, dan bahasa. Para imam hadits telah menyebutkan bahwa hadits palsu dapat diketahui melaluiqarinah (petunjuk) pada perawinya dan apa yang diriwayatkannya.
    2. Tidak bertentangan dengan nash syar’i lain yang lebih kuat darinya.
    Wallahu A’lam

Musthofa Achmad Baradja, Lc